Jumat, 26 Maret 2010

Kartini : Antara Kenangan Dan Kenyataan

BUKAN KARTINI BIASA

Iffati Aulia Rachma

“Ibu kita Kartini

Putri sejati

Putri Indonesia, harum namanya

Wahai Ibu kita Kartini,

Putri yang mulia

Sungguh besar cita-citanya

Bagi Indonesia…”

Syair di atas diambil dari lagu “Ibu Kita Kartini” yang merupakan representasi dari sosok Kartini yang begitu fenomenal. Pada diri Kartinilah sejarah modern Indonesia bermula. Ia adalah seorang Ningrat Jawa yang membenci feodalisme. Baginya, kebangsawanan mengandung beban kewajiban, bukan hak. Seorang pemimpin patut dicintai rakyatnya. Karenanya, seorang pemimpin wajib mencintai rakyatnya. Dan inilah yang coba ia aplikasikan dalam kehidupannya, terutama pada kaum perempuan.

The Most Inspiring Woman

“Panggil saya Kartini saja, begitu nama saya...
(Surat pertama Kartini kepada Estelle Zeehandelaar 25 Mei 1899)

Dialah Kartini. Putri bangsawan yang rindu akan kebebasan. Putri bangsawan yang tertawan oleh tradisi yang mendiskriminasikan kaum perempuan. Ide- ide dan gagasan-gagasan jeniusnya telah membawa perempuan Indonesia pada apa yang mereka cita-citakan sejak dulu kala, yaitu emansipasi dan kesetaraan gender. Dialah Raden Ajeng Kartini yang lahir pada 21 April 1897, putri dari Bupati Jepara R. M. A. A. Sosroningrat. Ibunya, M. A Ngasirah, merupakan selir . sedangkan istri utama saat itu adalah R. A Woerjan yang merupakan keturunasn langsung Raja Madura. R. M. Sosroningrat pada walnya adalah seorang Wedana di Mayong, yang akhirnya diangkat menjadi Bupati Jepara setelah menikahi R. A Woerjan menggantikan R. A.A. Tjitrowikromo, ayahanda dari R. A Woerjan.

Hidup sebagai seorang anak selir ternyata bukanlah suatu perkara yang menyenangkan bagi Kartini. Dalam suratnya kepada Ny. HG de Booij-Boissevia menunjukkan diskriminasi yang ia terima. Ibunya harus bersaing dengan istri utama ayahnya. Meskipun ayahnya memiliki rumah yang luas, namun Kartini terlahir dan tinggal di rumah kecil yang terletak di belakang gedung utama. Hal ini tak pernah menyurutkan semangat Katini untuk menempuh pendidikan dengan berbagai cara. Ia yakin, hanya pendidikanlah yang pada akhirnya akan membawa kebahagiaan.

Kebahagiaan terbesarnya ialah ketika mendapat kesempatan bersekolah di Europese Legere School (ELS) yang merupakan jenjang pendidikan setingkat SD. Kesempatan bersekolah di ELS hanya dibuka bagi Bangsa Belanda dan pribumi dari Kalangan Ningrat. Dalam masa pendidikan itu, semakin terlihatlah kepandaian dan kecerdasan Kartini mengalahkan teman-temannya, walaupun bangsa Belanda sekalipun. Kartini bagaikan mendapat oase di gurun Sahara, ia begitu antusias dalam menjalani pendidikan itu. Meskipun terkadang pendiskriminasian itu masih ia rasakan. Terutama oleh guru-gurunya.

"Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menentang kami. Aduhai! Betapa banyaknya dukacita dahulu semasa kanak-kanak di sekolah; para guru dan banyak di antara kawan mengambil sikap permusuhan kepada kami..."

(Surat Kartini kepada Estella Zeenhandelaar)

Usai menamatkan pendididkan di ELS, Kartini menghadapi masa tersulit dalam hidupnya. Masa dimana dunianya hanya dibatasi tembok pagar rumahnya. Tidak lebih dari itu. Seperti halnya putri-putri dari kalangan Ningrat lainnya, Kartini menjalani masa pingitan. Begitu terasa masa pingitan itu sungguh telah membelenggunya di balik pagar yang bernama adat dan tradisi.

Hal ini diungkapkannya pada suratnya yang ditujukan kepada Estelle Zeenhandelaar, 18 Agustus 1899:

“Peduli apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ...”

Masa pingitan itu akhirnya berakhir saat usia Kartini menginjak 17 tahun. Betapa saat itu ia teramat menikmati masa kebebasannya tersebut. Saat itulah masalah pendidikan dan perempuan mulai menyita perhatiaannya. Seperti yang ia tuliskan pada suratnya;

“Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata "Emansipasi" belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup didalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.”

(Suratnya kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899)

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya.Hal ini pula yang diungkapkannya dalam suratnya kepada Ny. Ovink-Soer di Tahun 1900;

“Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih.”

Namun, sekali lagi ia harus menyerah pada kenyataan. Bahwa ayahandanya yang dicintainya, ternyata menentang sama sekali rencana Kartini tersebut. Kartini yang waktu itu dibelenggu oleh adat atau aturan yang mencekiknya tidak dapat pergi belajar ke Belanda, lalu memberikan beasiswa itu kepada Haji Agus Salim untuk menunjukkan pandangannya tentang kesatuan Jawa dan Sumatra atau sebuah benih dari rasa berbangsa Indonesia. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Di kota inilah, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya pada 17 September 1904, sesaat setelah melahirkan putra pertama dan terakhirnya, R. M. Soesalit

Sejatinya, pada diri Kartini hanya raganyalah yang meninggalkan bumi ini. Namun, jiwa dan semangatnya tetap hidup dan menghidupi serta menjadi inspirasi bagi seluruh wanita di Indonesia. Dialah The Most Inspiring Women di Indonesia. Bahkan bukan hal yang berlebihan jika Koran Anak Indonesia menempatkannya di urutan teratas sebagai Tokoh Wanita yang Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Manusia Indonesia (2010). Kartini memang layak untuk itu.

Mengapa Harus Kartini?

Adalah suatu hal yang menarik untuk mengungkap mengapa R. A. Kartini dinobatkan menjadi The Most Inspiring Woman di Indonesia. Dan hal ini tentu berkaitan tentang penokohan dan ‘pengkultusan’ Kartini sebagai seorang wanita. Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bachtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Harsja mengungkapkan,“Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut”.

Kisah hidup seorang Kartini tak lepas dari lingkungan yang turut membentuk karakternya. Teman-temannya di sekolah dasarnya adalah orang-orang kolonial dan kaum elite pribumi. Tak heran jika ia menguasai Bahasa Belanda dengan baik. Pendidikan yang dijalani Kartini adalah pendidikan model Barat yang sekuler dan sosialis.

Kawan-kawan dekatnya kebanyakan adalah nona-nona Kompeni. Tengok saja pada surat-suratnya yang hampir semuanya ditulis dalam Bahasa Belanda dan ditujukan pada orang-orang Belanda, seperti: Estella “Stella” Zenhandelaar, Ny. Hilda G de Booij-Boissevia, Ny. Abendanon, Ny. Van Kool, Ny. Ovink Soer dan lainnya.

Diantara sederet nama-nama yang telah disebutkan diatas, ada salah satu nama yang tidak asing lagi bagi kita. Yang mana keberadaannya selalu dikaitkan dengan keberadaan Kartini. Dialah J. H. Abendanon. Abendanon ini menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Karena dialah yang berinisiatif menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dalam buku yang berjudul “Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini” (Habis Gelap Terbitlah Terang: Pemikiran tentang dan untuk orang-orang Jawa dari Raden Ajeng kartini). Buku ini diterbitkan lebih dari enam tahun kemudian setelah kematian R.A. Kartini. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul “Letters of a Javaness Princess”. Yang kemudian oleh Armijn Pane dialihbahasakan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Keberadaan Abendanon ini menjadi begitu penting. Karena tanpanya, Kartini tidak akan dikenal masyarakat luas. Bahkan, Kartini tidak akan dikenang dalam sejarah, terutama dalam sejarah perjuangan kaum wanita. Untuk itu, kita perlu tahu lebih jauh siapakah J. H Abendanon dan apakah peranan dan kaitannya dengan Pemerintahan Kolonial Belanda.

Abendanon sendiri termasuk salahsatu pendukung dilaksanakannya Politik Etis di Indonesia pada akhir abad ke-19. Politik Etis dicetuskan oleh C. Th. Van Deventer yang berisi tentang perbaikan-perbaikan dalam bidang-bidang meliputi bidang irigasi, transmigrasi dan edukasi. Politik Etis sebenarnya merupakan bentuk penjajahan yang sangat halus sekali. Program edukasi itu sendiri merupakan pelaksanaan dari Politik Asosiasi. Politik Asosiasi mempunyai makna yaitu penggantian kebudayaan asli tanah jajahan dengan kebudayaan penjajah.

Pada mulanya, Kartini berkenalan dengan Asisten Residen Ovink-Soer suami istri. Perkenalan ini terus berlanjut hingga akhirnya Kartini semakin banyak mengenal orang-orang kompeni. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara. Tak lama kemudian, iapun mengenal Estelle “Stella” Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.

Pada akhirnya, kita akan dapat menarik kesimpulan bahwa Kartini memang dipilih oleh Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi. Kemudian kita melanggengkannya dan menjadikan Kartini sebagai tokoh panutan.

Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia. Hal ini bisa jadi merupakan bahan propaganda Belanda untuk menarik simpati penduduk pribumi yang pada saat itu berada dalam cengkeraman penjajah kolonial. Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.

Mengapa Pemerintah Belanda memilih Kartini? Hal ini menjadi sesuatu hal yang begitu penting untuk dipertanyakan. Mengingat bahwa penokohan Kartini tidak lepas dari campur tangan para Kolonial ini. R.M.A.A Sosroningrat, ayahanda Kartini adalah seorang Bupati pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Maka tidaklah mengherankan, jika ia adalah sosok yang pro-pemerintah, dalam hal ini adalah Belanda, mengingat jabatannya yang dekat dengan pemerintahan. Termasuk juga keluarganya, dan tentu saja Kartini. dalam beberapa suratnya, ia mengungkapkan betapa ia amat mengagumi Bangsa Eropa dan Belanda.

“Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa”.

(Surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899)

Dalam soal pendidikan, Kartini percaya sungguh akan ampuhnya hirarki kekuasaan. Ia percaya rakyat akan meniru terobosan baik yang lebih dulu dicontohkan para pemimpinnya. Bahkan atas keyakinan yang agak naif, ia percaya bahwa pemerintah Hindia Belanda dengan semangat politik etisnya sedang mengusahakan sebaik-baiknya kesejahteraan penduduk Jawa. Kekagumannya itu ia tuliskan dalam suratnya, sebagiamana berikut:

“Bolehlah, negeri Belanda merasa berbahagia, memiliki tenaga-tenaga ahli, yang amat bersungguh mencurahkan seluruh akal dan pikiran dalam bidang pendidikan dan pengajaran remaja-remaja Belanda. Dalam hal ini anak-anak Belanda lebih beruntung dari pada anak-anak Jawa, yang telah memilki buku selain buku pelajaran sekolah”.

(Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus 1902)

Kartini di Belanda dijunjung tinggi sebagai pejuang emansipasi di Hindia-Belanda dulu sampai sekarang. Pemda Den Haag di tahun 2007 ini spesial menyediakan trophy Kartini untuk perorangan/organisasi di Den Haag yang berjuang dalam bidang emansipasi ala Kartini dulu.

Kemungkinan Kartini dijadikan bahan propaganda oleh Belanda bukanlah nol persen. Walaupun Kartini sendiri tidak menyadari tentang hal tersebut. Marilah kita sejenak berpikir. Jika saja Ratu Wilhelmina tidak meniadakan tradisi pingitan dalam kalangan Pribumi Ningrat sejak 1900, dan jika saja kisah Kartini ini tidak dimunculkan, maka Politik Etis yang digadang-gadang oleh Pemerintahan Kolonial ini akan gagal. Karena Politik Etis ini juga menyangkut pada pemberian pendidikan pada golongan pribumi yang lebih menjurus pada pelaksanaan Politik Asosiasi, pengubahan kebudayaan asli tanah jajahan dengan kebudayaan penjajah. Dan tradisi pingitan akan menghalangi hal tersebut.

Namun pada akhirnya, Kartini kembali menemukan jalannya. Iapun mulai menyadari hakikat dan keberadaan manusia di muka bumi. Kartini menjadi sosok yang relijius. Dan itu ia dapatkan setelah ia membaca dan memahami Al-Quran. Kartini amat terkesan dengan surat Al Baqarah Ayat 257, ia menemukan kata-kata yang amat menyentuh nuraninya yang berbunyi:

" Orang-orang yg beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya ( Minadzdzulumaati Ilaan Nuur ) ".

Dan sebelum wafatnya Kartini, dalam banyak suratnya mengulang kata-kata " Dari gelap menuju cahaya ", yang ditulis dalam bahasa Belanda sebagai " Door Duisternis Toot Licht ".

Abendanon sama sekali tidak mengetahui bahwa kata-kata tersebut berasal dari AlQur'an. Ditambah lagi diterjemahkan sebagai "Habis Gelap Terbitlah Terang" oleh Armijn Pane. Kemudian, simaklah beberapa penggalan suratnya berikut ini. Surat-surat ini mengumgkapkan perubahan perasaan yang dialaminya terhadap Penjajah kolonial.

" Sudah lewat masanya, tadinya mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik tiada taranya, maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna..?? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dlm masyarakat Ibu terdapat banyak hal yg sama sekali tidak patut dinamakan peradaban ?? "

(kepada Ny Abendanon, 27 October 1902)

" Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka Kristenisasi................bagi orang Islam, melepaskan kepercayaannya sendiri dan memeluk agama lain merupakan dosa yg sebesar-besarnya........pendek kata, boleh melakukan zending, tetapi janganlah meng-kristen-kan orang lain. Mungkinkah itu dilakukan ? "

(kepada E.C Abendanon, 31 january 1903)

Terlepas dari itu semua, tetap saja Kartini merupakan salah satu dari sekian wanita yang bias dikategorikan sebagai Perempuan yang tangguh dan hebat. Dalam pandangan Pramoedya Ananta Toer, Kartini di dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” adalah “pemikir Indonesia modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern sekaligus”. Saat itu belum ada Bung Karno dan Hatta dengan tulisan-tulisan atau pidato-pidatonya, tetapi Kartini sudah menyebut “nasionalisme” dengan kata “kesetiakawanan”.

Atas pemikirannya yang luar biasa. Atas perjuangan pemikirannya untuk kaumnya. Atas kegigihannya untuk meraih pendidikan walaupun ia sempat terjatuh, tapi ia tak lantas tersungkur. Hidup baginya adalah perjuangan. Dan perjuangan berarti pertempuran hingga titik darah penghabisan. Walaupun tak sempat ia meraih impiannya, namun semangat dan ketulusannya telah mengantar perempuan Indonesia menuju arah yang lebih baik.

Dan inilah yang diungkapkannya mengenai pendidikan dan perempuan;

“Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya”

(Suratnya kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901)

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Bukan Sekedar “Kartini”

Jika Kartini adalah jiwa dan pikiran yang mewakili perempuan Indonesia, maka sejatinya perempuan Indonesia membutuhkan lebih daripada itu untuk dijadikan teladan dan panutan. Pada hakikatnya semua wanita adalah pahlawan, paling tidak untuk dirinya sendiri. Bahkan almarhum Chrisye mengungkapkannya dalam tembang lawas “Sabda Alam”, ada kalanya pria tak berdaya. Bertekuk lutut di sudut kerling wanita.

Dan mereka itu bukan sekedar perempuan biasa. Perempuan yang menjadi seorang ‘Kartini’ yang sesungguhnya. Kartini yang tidak hanya dikenang sebagai pemikir dan pencetus suatu gagasan. Bukan Kartini yang hanya mampu menyampaikan ide-idenya dalam surat. Mereka sudah jauh melangkah; mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Yang memberikan kontribusi besar bagi dirinya, kaumnya, bahkan bagi Indonesia.

Menilik pada kenyataan yang terjadi di Indonesia setelah satu abad gugurnya R.A Kartini, masih banyak yang perlu dibenahi dalam kehidupan perempuan di Indonesia pada umumnya. Walaupun Kartini telah menjelma dalam setiap jiwa dan pikiran perempuan Indonesia, tetap dibutuhkan perempuan-permpuan pemberani yang akan mewujudkan gagasan mulianya dalam tindakan nyata.

Sangat ironis, jika sampai saat ini ternyata masih banyak perempuan Indonesia yang belum mengeyam pendidikan dengan baik. Meskipun usaha untuk mencerdaskan kaum perempuan ini sudah dirintis berabad-abad silam, namun belum juga menunjukkan hasil yang signifikan. Seperti yang dilansir oleh Republika.com, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Hamid Muhammad, dari total 8,2 juta orang buta aksara di Indonesia, 64% adalah perempuan. Atau sekitar 6,5 juta perempuan Indonesia tidak dapat membaca dan memperoleh informasi. Oleh karena itu, diperlukan kader-kader pilihan dari kaum perempuan yang dapat menampilkan sosok ‘Kartini’ secara utuh.

Tidaklah mengherankan jika nama Bu Kasur yang mempunyai nam asli Sandiah, disebutkan sebagai salah satu Kartini Modern yang turut berjuang memajukan pendidikan Indonesia. Kecintaannya pada anak-anak, ia buktikan dengan mendirikan TK Mini Pak Kasur yang sebelumnnya adalah Taman Putra dan Taman Pemuda yang ia kelola bersama suaminnya, Pak Kasur. Kini TK itu telah mendirikan beberapa cabang di wilayah Jabodetabek. Selain itu, beliau adalah seorang pencipata lagu anak-anak, yang hingga kini lagunya masih sering dinyanyikan oleh anak-anak. Tindakan nyata inilah, yang mendorongnya meraih berbagai penghargaan dan menempatkannya sebagai seorang Kartini, yang bukan ‘sekedar’ Kartini.

Kartini modern lainnya yang patut diapresiasi juga adalah Butet Manurung. Apa yang dilakukannya untuk Sokola Rimba di Bukit Tujuh Belas, Jambi,dapat dijadikan inspirasi untuk sebuah solusi memajukan pendidikan nasional di daerah terpencil. Butet Manurung menerapkan sistem pendidikan dasar dengan metode Silabel. Metode ini adalah sebuah cara yang diolah oleh Butet untuk mengajarkan anak-anak rimba mengenal bahasa Indonesia selama dia berada di pedalaman Bukit Tujuh Belas, Jambi, Sumatera Timur. Tak jauh berbeda dari Kartini yang merupakan kaum elite yang terbentur tradisi pingitan, Butet Manurung kecil adalah salah satu “anak pingit”, karena kemana pun dia pergi selalu diantar oleh supir. Penjelajahan alam memang selalu diidam-idamkannya sejak Butet masih remaja, karena sejak kecil Butet menjadi ‘anak pingit’ oleh ayahnya. Maka pada usia muda dia mampu mewujudkan hobinya itu untuk menjadi pecinta alam dan memberikan pendidikan bagi anak bangsa yang terpelosok dan jauh dari modernitas.

Selain kedua orang diatas masih ada tokoh wanita yang perlu diacungi jempol. Dialah Helvy Tiana Rosa. Di usianya yang masih relatif muda, ia telah menghasilkan tak kurang dari 600 cerpen, lebih dari 45 buku berupa kumpulan cerpen, novel, cerita anak, drama, kritik sastra, kumpulan esai, kumpulan puisi, dan sejumlah antologi bersama. Dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Lebih daripada itu, ia membidani lahirnya penulis-penulis baru Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Bukan hanya itu, FLP (Forum Lingkar Pena) yang ia dirikan telah menjadi salah satu icon dalam dunia jurnalistik dan tulis-menulis. Sebuah forum penulis yang hingga kini telah beranggotakan lebih dari 7.000 orang dengan 150 cabang di lebih dari 30 propinsi dan belasan negara. Bekerjasama dengan 50 penerbit, bahkan komunitas ini telah menghasilkan lebih dari 1000 judul buku.

Bukan hal yang mengherankan jika akhirnya ia mendapat banyak sekali penghargaan dam menjadi salah satu ikon majunya kasusastraan Indonesia di masa kini. Antara lain; terpilih oleh Majalah Gatra sebagai salah satu Ikon Perempuan Indonesia (2007). Dan Wanita Indonesia Inspiratif (2008) oleh Tabloid Wanita Indonesia . Ialah sosok ‘Kartini’ yang patut dijadikan panutan dan diberikan apresiasi setinggi-tingginya. Ia berjuang lewat tulisan. Tak jauh berbeda yang Kartini lakukan. Namun ia berhasil menggerakkan lebih dari 5000 orang untuk menulis. Suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh seorang Kartini ‘biasa’.

Masih ada lagi salah satu tokoh perempuan yang patut dimunculkan sehubungan dengan perannya di era globalisasi ini. Suatu era dimana informasi dan pengetahuan digelar seluas-luasnya. Yang menang ialah yang paling banyak mengumpulkan informasi dan menggunakannya dengan baik, begitu juga sebaliknya. Perempuan ini menghidupkan semanagt Kartini dangan cara begitu sederhana yang mungkin tak pernah terbayangkan oleh kita. Namun, peranannya dalam era globalisasi ini, membuatnya menjadi salah satu inspirator bagi kita semua.

Tidak banyak orang yang mengenalnya. Kiswanti. Penduduk Lebak Wangi, Parung – Bogor, Jawa Barat. Ia bukan berasal dari golongan elite. Ia tak sempat mengenyam pendidikan tinggi karena keterbatasan biaya. Namun apa yang dilakukannya sungguh merupakan suatu gambaran tentanmg kepeduliannya dan dedikasinya bagi pendidikan di Indonesia. Setiap hari ia berkeliling kampung naik sepeda. Tujuannya begitu mulia: ingin mencerdaskan anak bangsa dengan cara sederhana.Dia rela bersepeda berkeliling kampung untuk meminjamkan koleksi bukunya kepada anak-anak desa. Buku-buku yang ia dapat, sebagian besar merupakan hasil jerih payahnya ketika bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Jakarta.

Perempuan-perempuan yang tersebut di atas, tidak bisa dianggap sebagai perempuan yang biasa-biasa saja. Mereka memiliki semangat. Mereka memiliki gairah dalam berkarya dan penuh dedikasi pada kaumnya dan bangsanya. Mereka berjuang bagi pendidikan di Indonesia. Seperti yang sejak semula dicita-citakan oleh Kartini.

Kini, 105 tahun setelah Kartini meninggal pada tahun 1904, emansipasi wanita di Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang sangat signifikan. Perempuan-perempuan Indonesia tidak lagi terbelakang. Mereka bukan lagi menjadi ”konco wingking”, namun menjadi tokoh-tokoh berpendidikan tinggi, berkarir sukses, dan berpengaruh besar dalam masyarakat. Ekualitas gender di Indonesia dan penghargaan atas martabat kaum wanita semakin berkembang membaik.

Mempersiapkan Diri Menjadi Kader Kartini

Globalisasi tak bisa dihindari. Ia akan datang seiring dengan perkembangan teknologi dan arus informasi yang tak bisa dibendung lagi keberadaannya. Perempuan Indonesia telah menunjukkan eksisitensinya dalam kehidupan nyata. Namun, seyogyanya usaha ini tetap berpedoman pada akhlak dan norma yang berlaku di masyarakat. Bebas bukan berarti lepas. Bercermin dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di seluruh belahan dunia, banyak perempuan yang justru memanfaatkan kebebasannya pada hal-hal yang menjurus pada perbuatan negatif. Misal :pergaulan bebas. Kebanyakan dari pelaku pergaulan bebas ini adalah mereka yang tidak berpendidikan dan kuarang kasih sayang dan perhatian orang tua.

Kini akses menuju pemberdayaan perempuan telah dibuka lebar-lebar. Tradisi ‘pingitan’ maupun tradisi kultural lain yang mendiskriminasikan kaum perempuan kini sudah mulai hilang. Hal ini tentu menjadi tanggumg jawab baru bagi kaum perempuan Indonesia. Mengingat baik tidaknya suatu bangsa, ditentukan dari baik buruknya akhlaq perempuannya. Karena dari para perempuan inilah akan lahir generasi penerus bangsa yang nantinya akan menjadi pemimpin di Indonesia. Maka dari itu, pendidikan amatlah penting.

Tak lepas dari misi emansipasi yang dibawa oeh R. A Kartini, diperlukan kader-kader bermutu yang siap memperjuangkan hakl-hak perempuan dan memberdayakan perempuan. Untuk menjadi kader-kader pembawa misi tersebut, dibutuhkan niat yang tulus. Niat inilah yang nantinya akan menjadi motivator dan penggerak dalam perjuangannya nantinya.

Hal lain yang harus dimiliki adalah keberanian dan eksistensi diri. Tanpa keberanian, mustahil suatu tindakan akan dapat terwujud. Memulai sesuatu yang baru, bukanlah perkara yang mudah. Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya, mereka akan menemui hambatan dan tantangan dalam menjalankan misinya. Walaupun yang dijalankan adalah satu tindakan yang baik dan bijak. Dan untuk dibutuhkan keberanian dan eksistensi diri, sehingga terwujudlah misi emansipasi seperti yang diperjuangkan oleh Kartini.

Perempuan Indonesia diharapkan sebagai sosok yang berpendidikan, berlandaskan pada moral dan akhlak yang tinggi. Perjuangan yang harus dilakukan oleh Bangsa Indonesia, khususnya kaumperempuan, tentunya tidak hanya sekedar merebut kebebasan dan kemerdekaan. Jangan sampai kebebasan dan kemerdekaan yang telah diraih kelak menjadi bumerang yang justru akan merugikan diri kita sendiri. Kini sebagian besar perempuan modern sudah dapat menikmati akses yang begitu luas dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan pemerintahan. Di sisi lain, globalisasi memberikan beban yang lebih berat bagi perempuan karena perempuan harus mampu meningkatkan kualitas dirinya demi meningkatkan kualitas hidupnya. Globalisasi membuat segalanya terlihat semakin mudah. Tinggal kita, siapkah kita menghadapinya?






1 komentar:

iffathee company mengatakan...

buAtt iNie mPe seMinggu....